Jumat, 27 Januari 2017

Hukum Rimba Saat Ini

"Hari ini kalian harus mengerjakan tugas dengan berpasang-pasangan", ujar guruku suatu hari. Saat itu sedang berlangsung mata pelajaran Bahasa Indonesia. Terdengar kelasku mulai berisik. Sebagian tampak senang dengan penuturan guruku tadi. 

"Akan tetapi, pasangannya ada yang cewek-cowok, ada yang cowok-cowok dan ada yang cewek-cewek. Baiklah, saya akan memilih pasangannya", ujar guruku kembali. Seisi kelas semakin gaduh. "Kami yang pilih dong, bu!", protes salah satu temanku. Bagaimana denganku? Aku hanya diam saja. Yah, pasrah aja deh sama apa yang disuruh. Guruku itu menggeleng. "Mau saya pilih, atau dipilih saya?", tanya guruku. WAT?!. Sama aja kali! 

Ditengah kegaduhan, guruku menaikkan volume suaranya, mulai membacakan nama-nama siswa. Olalaaa, ternyata guruku memasang-masangkan kami semua sesuai dengan urutan absen. Hah, aku aman untuk tidak berpasangan dengan siswa laki-laki dikelas. Diatas namaku siswa perempuan. Begitu pula dibawah namaku. Saat guruku membacakan nama-nama itu, sebagian besar teman-teman sekelasku mengeluh dan tidak terima. "Saya gak mau sama dia, bu!", "Bu tolong ganti aja pasangan saya lah bu!", "Bu, pilih sendiri aja lah pasangannya". Begitulah beberapa ucapan yang aku dengar. Guruku tetap bersikeras tidak ingin mengubah pasangan siswa yang telah dipilihnya. "Ibu! Pokoknya saya gak mau sama dia! Gak mau!", ujar salah seorang teman (cowok) kelasku meronta-ronta. "Saya mohon bu. Saya gak mau", pintanya lagi. Ampun deh, sampai mohon-mohon segala. Pasangan untuknya itu baik menurutku. Kenapa dia tidak ingin mencoba bekerja sama? "Coba kamu pikir. Kamu sekarang nolak teman kamu. Emangnya kamu pikir teman-teman yang lain mau sama kamu?", ujar guruku. JLEB! Tepat sasaran disini (nunjuk ketek), ralat (nunjuk hati).
"Silahkan duduk dengan pasangan masing-masing!", perintah guruku. Beberapa temanku yang mendapat pasangan yang pas, langsung bergegas menemui teman pasangnya. Aku pun demikian. Saat aku akan bergegas untuk pindah, ternyata temanku yang lain masih duduk disamping pasanganku, sehingga aku harus menunggu sebentar hingga ia berpindah tempat. Suasanya hening tiba-tiba. Masih banyak sekali teman-teman lainnya yang belum beranjak ke tempat pasangannya. Mereka sepertinya benar-benar tidak ingin menerima pasangan belajarnya. Guruku yang menyadari tak ada gerakan, menegur. "Ayo, cepat pindah. Cari pasangannya masing-masing!". Hanya bisikan-bisikan mereka yang ku dengar. Tak ada yang bergerak. "Ayo, kalau kelamaan waktunya akan habis. Kita tidak sempat belajar nanti", perintahnya kembali. Beberapa dari mereka yang belum menjumpai pasangannya mulai beranjak satu persatu. Mereka mencari bangku yang kosong dan duduk bersebelahan. Aku mengamati mereka. Canggung, batinku. 

Tak ingin menghabiskan waktu, aku menyeret kursiku ke tempat pasanganku berada. Aku akan duduk nyempil saja disana. Temanku yang satunya itu belum pindah juga. "Ayo, pindah. Pindah sama pasangannya", perintah guruku untuk kesekian kalinya. "Ibu, saya gak mau sama dia!", "Ibu, dia mengganggu saya", "Ibu, cari pasangan lain aja lah". Tuaian protes mulai berkumandang dari sana-sini. Guruku tetap 'bersikekeh' tidak akan mengubah pasangan belajar murid-muridnya. Karena waktu terus terkuras, akhirnya teman-temanku itu beranjak dari tempatnya dan saling menemukan pasangan masing-masing dengan wajah 'terpaksa'. 

Saat yang lain sedang ricuh karena sibuk berpindah tempat dari ujung ke ujung, tak ada yang menyadari jika salah satu teman kelasku (cowo) yang menurutku sangat jahil mengganggu temanku yang lain (cowo). Dan secara tiba-tiba temanku yang diganggu ini naik darah, emosi. Dirinya berdiri sambil membawa... Aku tidak ingat saat itu dia memegang apa. Dia memegang sebuah benda dan terlihat akan memukul temanku yang jahil itu dengan benda yang ada ditangannya. Kebetulan temanku yang jahil ini bertubuh kecil dan temanku yang dibuatnya marah ini bertubuh lebih besar darinya. Otomatis seisi kelas gempar. Guruku langsung berlari ke arah mereka dan berdiri ditengah-tengah mereka. "Ada apa?!", tanya guruku panik. Kedua temanku itu langsung menjauhkan diri mereka masing-masing. Temanku yang terpancing emosi tadinya kemudian duduk kembali dikursinya dan tampak termenung. Sedangkan temanku yang jahil tersebut menjawab berbagai pertanyaan dari guruku dengan sesekali tertawa kecil. Aku tidak bisa mengerti keadaan seperti ini. Belum selesai dengan masalah ini, salah satu teman (cewek)ku datang dari belakang. Dirinya memprotes keras, tidak ingin dipasangkan dengan teman (cowok)ku yang jahil tersebut. Guruku tersebut tetap memasang raut stay cool sejak tadi. "Baik, sekarang coba semuanya duduk di kursi masing-masing", ujar guruku memerintahkan. Meskipun posisinya bangkunya tidak jelas dimana, mereka semua duduk dikursi masing-masing. Guruku berdiri di hadapan kelas, menatap wajah kami, murid-muridnya.Dan disinilah, guruku memulai. Mulai mengutarakan berbagai nasehat. Saat guruku sedang berbicara, aku mencatat segala yang diucapkan olehnya. Aku mendengarkan dan aku menuangkannya dalam tulisanku yang amburadul.  Mengapa aku menuliskannya? Bukankah itu sesuatu yang tidak menarik sama sekali? Aku merasa apa yang dikatakannya sangat benar dan memberikan motivasi yang besar, baik untukku dan juga teman-teman sekelasku yang turut mendengarkannya saat itu. 

_______________

Guruku memulai pembicaraan saat seluruh murid telah memutuskan untuk mengunci mulutnya rapat-rapat. Berdirilah guruku didepan kelas. 
"Kita sebagai manusia punya proses dalam hidup. Proses untuk menjadi dewasa. Tidak semudah yang kita bayangkan untuk menjadi dewasa. Faktanya orang yang jumlah umurnya banyak bahkan belum tentu dewasa. Dalam proses sekarang, disitulah untuk membentuk karakter kita. Jika kita salah kepada Allah, Allah maha pemaaf. Segala perbuatan kita dimaafkan. Sedangkan manusia, itu yang harus kita jaga. Bisa saja kita bersikap seperti itu karena teman kita. Atau teman kita seperti itu karena sikap kita. Kita disekolah, disini dididik sama-sama, yang nantinya akan menjadi satu angkatan. Peran seorang guru hanya memfasilitasi. 
Guru kalian silih berganti. Sedangkan teman sekelas kalian itu-itu aja. Setiap hari kalian bertemu dengan wajah teman sekelas kalian. Dengar, kita belum pernah menemukan persaingan. Bukan. Bukan sama teman sendiri yang sudah seperti saudara kita sendiri. Tapi saling. Saling belajar. 'Saya tak mau sekelempok dengan dia'. Itu tidak ada pada orang yang pemikirannya tidak baik. 'Apa yang membedakan aku dengan kalian?' Saya percaya bahwa orang-orang berilmu pikirannya luas, bisa berinteraksi dengan siapa saja. Bagaimana kalian bisa bersosialisasi dengan yang lain. Ketika saya membentuk kelompok. Ketika kita bersama dalam kelompok, kita tahu apa yang sebenarnya. Kita dapat lebih mengenal orang yang sebelumnya jarang kita ajak bicara. 'Oh ternyata dia seperti ini'. Ingat, guru itu tidak ingin muridnya menjadi orang yang buruk. Guru itu mengajar dengan ikhlas kepada kalian. Guru tidak ingin muridnya menjadi musuh. Tetapi jadilah teman/saudara", jelas guruku panjang lebar. Terdiam sebentar. Kemudian melanjutkan penjelasannya. "Junjung tinggi sikap menghargai. Penghargaan itu sangat penting. Hari ini dia yang salah. Besok kita yang salah. Ilmu tanpa dibatasi oleh sikap positif tidak ada gunanya. Yang penting perilaku santun. Hanya mengandalkan otak dan tak mengandalkan attitude... Gak ada yang butuh. 
Gimana kita bisa dihargai orang? Bisa menjadi sukses? Ketika orang mempercayai ilmu yang kita miliki, maka mereka lebih dahulu memastikan kepercayaan dengan sikap kita. Persaingan sekarang seperti hukum rimba. Siapa yang kuat dialah yang menang. Kali ini, siapa yang memiliki segalanya maka dia yang akan menang. Memiliki segalanya, yaitu kompetensi dan perilaku. Mungkin kalian belum lihat dunia lain diluar sana. Tapi percayalah, belajar itu tidak hanya membaca buku, tetapi belajar itu proses. Yang harus kalian ingat, hidup ini tentang saling menghargai. Udah, itu aja yang mau ibu bilang" 
Kami semua masih terdiam sejak guruku menuturkan berbagai nasihat. "Baiklah, sekarang kalian boleh berpindah tempat. Cari pasangan yang kalian inginkan", tutur guruku. Hanya 2-3 pasangan yang menukarkan posisi. Tampak yang lainnya (termasuk aku) tidak keberatan. "Sudah? Tidak ada yang ingin pindah lagi?", tanya guruku. Hening. "Baiklah, kalau begitu buka bukunya. Kita lanjutkan materi kita selanjutnya. Kita akan mengerjakan latihan dengan pasangan masing-masing", ujarnya. Dan setelah kejadian tadi, semuanya kembali berjalan seperti biasa. Hanya saja , saat guru tersebut memberikan latihan (tugas), aku melihat temanku yang menjadi korban kejahilan tadi permisi untuk keluar kelas. Aku tidak tahu apa yang dipikirkan olehnya. Namun setidaknya, aku bisa merasakan bagaimana menjadi dirinya. Yah, mencoba mengerti teman sekelasmu sendiri. Bukan. Saudaramu sendiri. 




TAMAT












Jangan lupa komentar dan bagikan! :)
Read More